Dari segi istilah, kita sering mendengar istilah ‘aqidah dan iman. Kedua istilah tersebut sebenarnya merupakan dua istilah yang mempunyai konotasi yang sama. Bedanya, istilah ‘aqidah ini digunakan oleh ulama’ Usluhuddin, sedangkan istilah iman digunakan oleh al-Qur’an dan Hadits. Sebab, di dalam al-Qur’an maupun Hadits tidak ada istilah lain selain iman.
Iman adalah keyakinan yang dibenarkan oleh hati dan diterima oleh akal, dibuktikan secara lisan juga perbuatan. keimanan haruslah bulat, tidak boleh setengah-setengah, harus 100%, tidak bisa kurang sedikitpun.
Adapun dalil yang bisa menghasilkan keyakinan dengan yakin 100% dan berhasil membentuk akidah adalah:
1. Dalil aqli; bukti yang dibawa akal, dan bukan bukti yang dipahami oleh akal. Yang dimaksud dengan bukti yang dibawa akal adalah bukti yang bisa dijangkau oleh akal, ketika bukti tersebut dihasilkan oleh akumulasi dari realitas, penginderaan, otak dan informasi awal. Misalnya, bukti bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah adalah bukti yang dibawa oleh akal, bukan bukti yang dipahami oleh akal. Ini setelah realitas gaya bahasanya diindera oleh penginderaan manusia, lalu dibandingkan dengan gaya bahasa manusia, maka dari sana bisa disimpulkan bahwa al-Qur’an bukanlah kalam manusia, tetapi kalam Allah SWT.
2. Dali naqli; bukti yang dipahami oleh akal melalui proses penukilan. Misalnya, bukti bahwa di surga ada bidadari yang menjadi isteri manusia, yang selalu disucikan oleh Allah, adalah bukti yang dipahami oleh akal manusia melalui penukilan, bukan bukti yang dibawa oleh akal. Karena realitasnya hanya bisa dipahami, tetapi tidak bisa dijangkau oleh indera manusia.
Agar manusia mendapatkan keimanan haruslah melalui proses berpikir, sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai mafahimnya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya dengan orang yang dibencinya akan membentuk perilaku yang berbeda-beda, begitu juga terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Jadi, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya. Dengan demikian bila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhumnya terlebih dulu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:-->
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka (TQS. Ar-Ra’d (13): 11).